Perjalanan Lektor, Seorang Pelayan
Oleh: Aviarini Indrati – Lektor/ Ketua Bidang Diakonia DPP Paroki St. Matheus
Aku seorang ibu yang berprofesi sebagai dosen. Ketika anak-anak masih kecil, hampir setiap malam sebelum tidur, aku membacakan majalah Bobo atau buku cerita kepada anak-anakku tetapi tak pernah membacakan satupun cerita alkitab. Sebagai seorang dosen, aku terbiasa berbicara dan menjelaskan materi pengajaran di depan mahasiswaku. Sebagai seorang ibu, pada saat itu aku mendukung kegiatan anak-anakku menjadi pelayan altar atau mesdinar.
Ketika si sulung duduk di kelas terakhir SMA, aku mengarahkan anakku menjadi seorang lektor. Namun beberapa bulan setelah anakku menjadi lektor, ia berkata kepadaku, “Ma, sebenernya mama yang kepengin jadi lektor kan ?” Pertanyaan yang tak kusangka sebelumnya itu menggelitik hatiku. Semakin aku memikirkan jawaban pertanyaan itu semakin aku ngga nyaman, karena sebagai ibu, aku meminta anakku berpelayanan, tetapi aku sendiri tidak melakukannya.
Akhirnya aku menjanjikan kepada si sulung bahwa aku akan berpelayanan juga sebagai lektor di tahun berikutnya. Seiring berjalannya waktu, aku menjadi ragu, dalam hatiku aku bertanya, “seandainya aku jadi lektor, emang umat mau mendengarkan Firman Tuhan yang aku bacakan sementara aku tak pernah membacakan untuk diriku sendiri ?”.
Ternyata pada tahun itu, Tuhan memberikan waktu kepadaku untuk mengikuti Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP). Aku tersentuh dengan salah satu materi, yaitu tentang roda kehidupan iman yang disampaikan salah satu pengajar. Pelajaran itu membuatku tersadar bahwa salah satu jari-jari yang menggerakkan roda kehidupan imanku tidak ada. Jari-jari itu Sabda Allah. Setelah selesai KEP, aku diajak oleh seorang pengajar untuk masuk dalam komunitas Mari Baca Alkitab. Aku belajar membiasakan membaca alkitab dan memulai mengenal Firman Tuhan untuk diriku sendiri. Beberapa bulan kemudian aku mendaftarkan diri sebagai lektor dan mulai berpelayanan tahun berikutnya.
Walaupun aku terbiasa berbicara di depan mahasiswaku, rasa deg-degan atau grogi pada saat melayani sebagai lektor juga aku rasakan. Setiap aku mendapat jadwal tugas, aku berupaya untuk selalu menyiapkan diri di rumah dengan membaca bacaannya terlebih dulu. Banyak pengalaman yang aku rasakan ketika berpelayanan sebagai lektor. Beberapa kali aku merasakan sentuhan Tuhan saat membacakan Firman Tuhan di ambo atau mimbar. Rasa seperti tersengat aliran listrik yang merambat cepat mulai dari kaki menuju ke atas membuatku merinding saat membacakan Firman Tuhan. Beberapa kali aku juga merasakan rasa haru yang begitu mendalam ketika mendapat kesempatan membacakan kisah sengsara Yesus pada ibadat jalan salib terlebih saat membacakan perhentian ke 12 Saat Yesus Wafat di Kayu Salib. Rasa haru itu menyelinap dalam hatiku, karena aku merasakan begitu besar kasih Tuhan….
Aku juga bersyukur atas kesempatan yang telah diberikan untuk menjadi salah satu pelayan ibadat jalan salib bersama WKRI St. Matheus di gereja kecil St. Maria Ratu, Gumbrih, Bali. Aku juga masih menyimpan rasa haru di hatiku ketika aku menjadi komentator saat menyapa umat yang akan mengikuti perayaan Ekaristi Natal. Aku melihat begitu banyaknya umat yang hadir hingga saat itu akupun berbisik dalam hatiku… “Tuhan lihatlah begitu banyak umatMu yang ingin bersyukur kepada Tuhan…”
Sebagai seorang manusia, tentunya aku juga memiliki kelemahan dan tak luput dari kesalahan. Aku juga pernah melakukan kesalahan pada saat berpelayanan, seperti salah membaca berita gereja, melewati doa yang seharusnya aku bacakan, ada saatnya juga kurasakan lidahku yang belibet sehingga kata yang ku-ucapkan tak jelas terdengar. Akupun pernah lupa, saat bertugas tidak menggunakan stola, kain panjang yang layaknya dikenakan di leher sebagai pelengkap alba atau jubah.
Walaupun aku melakukan kesalahan atau kelupaan, tak pernah ada yang menyalahkanku baik itu Romo ataupun juga anggota tim pelayan yang lainnya. Romo dan anggota tim pelayan saling memberikan dukungan saat berpelayanan.
Sebagai seorang pelayan, sudah seharusnya aku meningkatkan kemampuan melayani. Aku bersyukur punya kesempatan mengikuti pelatihan atau workshop yang diselenggarakan oleh Seksi Liturgi Paroki St. Matheus atau Dekanat Utara. Beberapa kesempatan yang aku peroleh itu, membuatku bertambah wawasan dan terkesan atas materi yang disampaikan para narasumber yang sekaligus beliau juga berpelayanan sebagai lektor dan melatih para lektor di parokinya masing-masing. Aku terkesan dengan teknik membaca yang dibimbing oleh ibu Maria Oentoe sosok legendaris, seorang mantan artis, penyiar radio dan pengisi suara professional. Aku juga terkesan dengan peran lektor dalam liturgi yang disampaikan oleh Seksi Liturgi BMV Katedral Bogor. Selain itu aku juga terkesan dengan sharing spiritualitas lektor yang disampaikan oleh ibu Dian Budiargo, seorang mantan penyiar TVRI.
Dalam perjalananku menjadi seorang pelayan, menjadi lektor membuatku tersadar bahwa menjadi lektor bukanlah sekedar membacakan Firman Tuhan tetapi aku juga harus memiliki komitmen spiritual. Komitmenku terhadap kehidupan spiritualku, yaitu bagaimana aku bisa menghidupkan Firman Tuhan dalam kehidupan dan keseharianku baik dalam peranku di tengah keluarga, gereja dan masyarakat. Bagiku ini menjadi sebuah tantangan yang tak mudah, sebuah proses panjang dan butuh waktu tentunya….
Sebuah tantangan apakah aku dapat membuka diri terhadap panggilan dan bimbingan Tuhan sehingga aku dapat menikmati perjalananku sebagai pribadi, sebagai seorang lektor dan yang utama sebagai seorang pelayan untuk mengukapkan rasa syukurku dan untuk memuliakan nama Tuhan… ?
Berkah Dalem…