LOKAKARYA KEPEKAAN GENDER: Relasi Laki-laki & Perempuan yang setara dan adil

0
3207

Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI ke-77, Rabu 17 Agustus 2022 di Aula Maria Goreti Gereja Santo Matheus Depok, Komisi Mitra Perempuan dan Wanita Katolik RI Cabang St. Matheus mengadakan “Lokakarya Kepekaan Gender” yang dihadiri oleh 56 peserta dari Paroki Matheus, perwakilan WKRI Dekanat Utara, 10 panitia lokal dan 8 fasilitator serta narasumber dari Bandung. Pukul 09.00 acara dibuka dengan sambutan dari Wakil DPP Yostinus Tomi Aryanto mewakili Pastur Paroki RD Jimmy Rampengan yang berhalangan hadir. Bp Tomi menyampaikan bahwa kemerdekaan sejatinya belum tercapai, jika kesetaraan gender yang paling kongkrit dalam relasi keluarga dan rumahtangga belum terwujud.

Sambutan kedua dari Ketua Panitia Lokakarya Ibu Amalia Kuswardani, kemudian Ketua Komisi Perempuan Keuskupan Bogor menyampaikan juga sambutan dan pantun “Sup Iga Sup Buntut sedap rasanya, dimakan bersama di gunung bunder…Selamat ber-lokakarya, semoga terwujud kesetaraan gender”.  Ibu Andriani Utami Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Bandung lalu membuka dengan penjelasan sesi pertama yaitu Seks dan Gender.  Bapak Gregorius Tjahyadi dari tim KMP Bandung kemudian menjadi moderator yang sangat mengasyikkan dengan berbagai gerakan pengusir kantuk, dan penjelasan lengkap yang disampaikan dengan ringan, jenaka, mudah dimengerti memakai contoh sehari-hari.

Pada sesi satu ini, semua 8 kelompok menuliskan pada potongan kertas biru hal-hal yang menggambarkan ciri laki-laki dan menuliskan juga pada kertas pink untuk ciri perempuan, yang kemudian ditempelkan di papan tulis.  Ibu Andriani menuntun peserta untuk membedakan mana ciri fisik dan mana ciri sifat. Dari situ kemudian dikelompokkan CIRI FISIK sebagai SEKS dan CIRI SIFAT sebagai GENDER. SEKS bersifat kodrati dari ciptaan Tuhan yang tidak bisa dirubah atau dihilangkan yaitu jenis kelamin dan perangkatnya. Sementara GENDER adalah sifat yang terlihat maupun tidak terlihat yang adalah hasil konstruksi sosial dan masyarakat yang bisa berubah, bisa berganti dan dipertukarkan tergantung konteks waktu dan tempat.

Pada sesi kedua bersub-tema “Mengapa gender dipermasalahkan”, tiap kelompok menuliskan pada selembar kertas besar mengenai perbedaan prilaku atau perlakuan, antara laki-laki dan perempuan sejak masa kanak-kanak, remaja hingga dewasa. Wakil tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Disini dapat dipahami bahwa gender menjadi masalah ketika terjadi ketidakadilan dan perlakuan yang tidak setara.

Setelah makan siang, sesi ketiga membahas 5 bentuk ketidakadilan gender dan contoh kasusnya yaitu MARGINALISASI (perbedaan sikap prilaku atas perbedaan gender yang memberi batasan pada peran perempuan/laki-laki), SUBORDINASI (gender satu lebih diutamakan dari yang lain sehingga timbul ketidaksetaraan hak dan ruang), MULTIBEBAN (pembagian peran, hak dan kewajiban yang tidak adil sehingga salah satu gender menanggung beban/tugas lebih berat), STEREOTIPE (atau penandaan/ pelabelan negatif dengan standar penilaian berbeda sehingga merugikan gender tertentu) dan KEKERASAN/ Violance secara fisik dan seksual serta verbal perkataan yang menyakiti. Pada era digital ini terdapat bentuk kekerasan lain yaitu kekerasan digital berupa pelecehan terbuka lewat media sosial maupun kekerasan digital tertutup melalui pesan WA yang menghina/melecehkan maupun mengancam.

Ada apa dengan Depok?

KDRT dan pelecehan seksual meningkat tajam kasusnya terutama sejak pandemiCovid.  Pada sesi keempat, Ibu Elizabeth Dewi MA, PhD sebagai nara sumber utama menyampaikan pemaparan tentang tindakan pencegahan dan penanganan yang diperlukan. Namun menyikapi berbagai kasus KDRT dan pelecehan yang terjadi, lokakarya ini tidak hendak membahas aspek hukum dan detail penanganan kasus, melainkan bagaimana kedepannya kita mencegah ketidakadilan gender baik bagi laki-laki maupun perempuan. Peserta diajak untuk membuat BUDAYA BARU yaitu kesetaraan gender yang adil, menghargai perbedaan dan tidak menyakiti siapapun. Kesetaraan Gender tidak sama dengan Persamaan Gender, karna seperti sudah dibahas bahwa Seks antara laki-laki dan perempuan berbeda dan Gender-nya tentu berbeda juga. Namun yang menjadi kata kunci adalah RELASI, menghargai perbedaan, melakukan dialog dan mendengarkan agar tercapai kesetaraan dan keadilan.

Mengapa harus menghargai?

Berdasarkan Surat Gembala KWI tahun 2004 tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki sebagai Citra Allah, disampaikan bahwa menurut Kejadian 2:18 perbedaan laki-laki dan perempuan mempunyai tujuan untuk saling melengkapi dan menjadi penolong yang sepadan. Dalam salah satu homili-nya, Mgr Antonius Subianto juga menyampaikan wajah pasangan adalah wajah Kristus itu sendiri, maka setiap laki-laki dan perempuan harus menerima kekurangan pasangannya dan memperlakukannya dengan hormat.   Gereja Katolik juga meyakini bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berproses dalam pengambilan keputusan menyangkut hidup menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka dalam Surat Gembala tadi, Gereja mengajak umat untuk menyebarluaskan pemahaman dan penyadaran tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, masyarakat dan gereja. Kita dipanggil untuk saling melengkapi dan membangun RELASI SETARA KRISTIANI yang penuh kasih dengan sesama agar Wajah Kristus yang penuh kasih hadir di dunia. Kemudian RD Stefanus Tanto Agustiana Pr. yang turut mendampingi tim KKP Bandung, menutup lokakarya ini dengan membagikan beberapa hadiah doorprize  kepada peserta dan doa berkat. Diakhiri dengan foto bersama seluruh peserta, panitia dan fasilitator.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here